Kamis, 27 Mei 2010

Fiqh Kontekstualis, Menuju Agama Humanis

Oleh: Fariz Al-Nizar*
Ketika membaca buku tradisi intelektual NU penulis tercengang dan baru sadar bahwa banyak dari kalangan kita atau para santri yang kurang mampu untuk mengontekstualisasikan tek-teks terdahulu ( tsurats al qadim ), dalam buku tersebut Dr. A. Zahroh menklasifikasikan hasil-hasil muktamar menjadi tiga bagian yaitu pertama jawaban yang masih valid sampai saat ini seperti hukum memecah kendi dan telur saat pernikahan, kedua keputusan hukum yang dianggap sudah tidak valid lagi dan masih berlaku sampai saat ini seperti jual beli petasan dan penentuan maal zakawi, ketiga hukum-hukum yang mengalami pelenturan seperti bunga bank dan transpalasi organ tubuh.
Klasifikasi yang dilakukan oleh Dr. A. Zahroh diatas menunjukkan bahwa ternyata konsensus semacam muktamar saja dapat mengalami perubahan karena tak mampu lagi menjawab tantangan zaman. Bagaimana dengan dengan hasil hasil ijtihad ulama' terdahulu ?
Dengan tanpa maksud menafikan hasil usaha para ulama' terdahulu penulis akan mencoba menguraikan beberapa point terkait dengan kontestualisasi fiqh sendiri. Menurut Dr .A. Zahro dalam dunia penelitian terdapapat konvensi atau semacam kesepakatan yang tak tertulis mengenai kemungkinan validitas ( tingkat kebenaran ), reabilitas (tingkat kepercayaan ) dan signifikansi ( arti penting ) dari suatu hasil penelitian. Suatu hasil penelitian berlaku hanya dalam rentang waktu dua tahun sampai lima tahun. Lebih dari itu dapat dan bahkan harus diadakan penelitian ulang untuk meninjau dan mengoreksinya ulang, bagaimana dengan produk-produk ijtihadi yang juga merupakan produk nalar manusia? tentunya berlaku ketentuan yang sama yakni perlu untuk dilakukan peninjauan ulang. Dalam hal ini Dr. Komaruddin Hidayat mengatakan bahwa penghargaan terhadap ulama' terdahulu seharusnya bukan dalam bentuk pencomotan dan pengadopsian apa adanya melainkan dengan menakar ulang ( re-thinking ) atas hasil ijtihadi karya- karya mereka secara dinamis dan konstruktif.
Abu Hanifah mengatakan bahwa mereka ( ulama' terdahulu ) adalah manusia biasa, dan kita pun manusia biasa pula. Kita mesti berterima kasih atas karya-karya atau pemikiran mereka tetapi kita tidak akan mengikuti seluruh pendapat mereka. Berbicara konteks tentu kontskes di masa lalu sangat jauh berbeda dangan masa kini begitu juga masa kinipun tantu akan berbeda dengan masa yang akan datang, sekarang masyarakat modern mempunyai logika dan sikap yang jauh berbeda dengan masyarakat arab zaman dahulu. Belum lagi letak geografis di mana agama islam diturunkan dengan letak geografis negara kita yang mungkian akan melahirkan inspirasi untuk menginterpretasi ulang doktrin dan dogma keagamaan.
Perbedaan konteks serta historis inilah yang menyebabkan perlunya pembacaan yang disnigtif antara syariah dengan maqaasid al syari'ah. Dalam tataran praksisnya yang terjadi selama ini adalah kecenderungan menguniversalkan produk fiqh untuk semua zaman dan tempat. Apa yang diproduksi ulama' terdahalu dianggap mampu untuk memecahkan problem-problem kemanusiaan kontemporer. Asumsi semacam itu bukan berarti tanpa konsekuensi. Akibatnya, syariat sebagai mediator yang komprehensif yang mengatur hubungan hamba dengan Tuhan ( ibadah) dan hubungan manusia dengan makhluk lainnya ( mu'amalah ) mengalami ke-stagnan-an atau ke-jumud-an. konklusi akhir yang tampak adalah wajah fiqh yang keras, rigid dan terkesan kaku.
Fiqh sebagai cara mengambil kesimpulan sebuah hukum yang berasaldari the religion natural resource ( Al Qur'an dan Hadits ) pada akhirnya akan menjadi statis dan teosentris, karena fiqh lebih dianggap sebagai otoritas pengetahuan daripada upaya memfungsionalisasikan doktrin keagamaan untuk menyelesaikan problematika keseharian.
Penulis berpendapat bahwa Langkah yang harus kita tempuh adalah dengan cara mengangkat ke permukaan syariat islam dalam arti sebagai sumber kemslahatan, karenanya yang perlu dikedepakankan adalah nilai-nilai universal dari pensyriaatan ( maqasid al-syari'ah ), contoh kecil adalah tentang hubungan antar agama, dalam literatur fiqh klasik menyebutkan bahwa hukum masuk gereja adalah haram. Ketika teks fiqh tersebut " diperkosa " untuk dijadikan dasar pengharaman masuk gereja maka yang terjadi adalah ketegangan dan kesenjangan antar pemeluk agama. Dari sisi historis produk fiqh dikodifikasikan saat tensi hubungan islam dengan non islam sedang tinggi-tingginya yaitu saat perang salib, maka hukum-hukum yang termuat dalam literatur klasik sangat wajar ketika berpapasan dengan non islam ada semacam sentiment. Ketika kita menengok kedalam kontesk sekarang ini terutama di indonesia hubungan antar agama sudah terjalin dengan baik maka perlu adanya kontesktualisasi hukum fiqh yaitu hukum masuk gereja adalah diperbolehkan mengacu pada konteks yang ada sekarang. Ketika kontekstualisasi tersebut dapat terealisasi dengan baik maka menjadikan islam sebagai agama yang humanis bukan merupakan sebuah impian lagi
* Staf Pengajar di PP. Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang