Selasa, 30 Agustus 2011

URGENSI PESANTREN DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER & MORAL

Umar Abdul Hasib*

Pesantren adalah lembaga pendidikan tertua dalam sejarah kependidikan di Indonesia selain itu Pondok Pesantren juga yang menjadi ciri khas Agama Islam di Indonesia, founding father dari pesantren adalah Sunan Ampel dengan pesantren Ampel Dento-nya di surabaya, selain itu Pesantren juga menjadi barometer penentu dapat dikatakan kuat dan tidaknya Islam pada suatu daerah.

Pondok Pesantren adalah suatu padepokan untuk memperdalam ilmu agama. Di dalamnya para santri mencurahkan tenaga dan pikiran untuk belajar tentang ilmu keagamaan serta tempat dimana karakter para santri dibentuk, sementara pengasuh pesantren (Kiai) menyerahkan diri dan jiwa mereka dengan tulus untuk memberikan pengajaran dan teladan hidup. Kiai adalah sosok pemimpin yang tunggal dalam Pesantren, Beliau-Beliau selalu menjadi panutan dan tauladan kehidupan bagi para santri.

Seiring dengan laju perkembangan zaman, pesantren banyak yang menyesuaikan dengan derap perubahan zaman, kalau dahulu didalam pesantren dipelajari ilmu tentang keagamaan unsich, sekarang banyak pesantren-pesantren yang sudah mempunyai lembaga-lembaga pendidikan modern yang didalamnya diajarkan ilmu-ilmu eksak tentunya dengan porsi-porsi tertentu tanpa menanggalkan pembelajaran keagamaan dan merubah tujuan dan didirikannya sebuah pesantren, yaitu untuk memperdalam llmu Agama (Tafaqquh fi ad Din).

Sumbangsih pesantren dalam pendidikan dan pembentukan karakter terhadap para murid (santri) tidak bisa dianggap sebelah mata, karena dalam pesantren tidak hanya pembelajaran semata akan tetapi juga pembentukan kepribadian dalam bersosialisasi dengan lingkungan atau dalam bahasa lain bukan hanya aspek ta’allum tetapi juga aspek Tarbiyah, hal tersebut dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari dipesantren yang sederhana tidak neko-neko bukan hanya sekedar teori yang disampaikan tetapi juga diterapkan dalam kehidupan sehari-hari terutama oleh Kiai, dalam bidang akhlak misalnya para santri junior mempunyai rasa hormat kepada santri yang sudah senior atau asatidz terutama keluarga (dzurriyah) kiai, hal ini berbeda sekali dengan model pendidikan-pendidikan lain seperti sekolah, kampus dan lain sebagainya yang hanya mengajarkan tentang keilmuan tanpa dibarengi dengan pembentukan karakter dan akhlak, hal ini sebenarnya bukanlah murni kesalahan dari anak didik tetapi juga pendidik, karena pendidik hanya berteori tanpa adanya praktek langsung dan kurangnya para guru atau dosen dalam menjaga muru’ah (harga diri) didepan anak didiknya, hal demikian tidak kita temui dalam kehidupan pesantren, seorang ustadz akan konsisten dengan apa yang diucapkan dan disampaikan kepada para santri.

Dari sedikit paparan diatas dapat kita lihat bahwa Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang harus tetap kita jaga eksistensinya, tetapi melihat kenyataan yang ada sekarang justru banyak kalangan yang enggan untuk menitipkan putra-putri mereka dipesantren terutama pesantren-pesantren salafy (tradisional), hanya karena anggapan mereka bahwa pesantren kurang mempunyai prospek terutama dalam hal materi karena pesantren tidak legal-formal, Mereka sudah terjangkiti virus matrealisme, semuanya hanya diukur dengan materi tanpa melihat segi pentingnya kepribadian dan akhlak, namun hal ini telah banyak disadari oleh beberapa lembaga baik pemerintah maupun non pemerintah, mereka melihat bahwa alumus pesantren merupakan orang-orang yang ideal untuk meneruskan tongkat estafet kepemimpinan negeri ini. sehingga bermunculan program beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi bagi para alumni pesantren.

Finally….. Pendidikan yang tidak hanya mengajarkan keilmuan tetapi juga tetapi akhlak dan pembentukan karakter sangatlah penting yang bisa menjadikan generasi BEROTAK LONDON BERHATI MASJIDIL HARAM sehingga keberadaan lembaga tersebut tetaplah harus dijaga eksistensinya karena disadari atau tidak pesantren merupakan benteng terutama bagi umat islam dalam menghadapi gempuran peradaban barat yang serba matrealistik.

Wa Allahu A’lam bi Al Shawab

* Penulis Adalah Alumni P.P Fadlu Wahid

Bandungsari Ngaringan Grobogan Jateng

Kamis, 27 Mei 2010

Fiqh Kontekstualis, Menuju Agama Humanis

Oleh: Fariz Al-Nizar*
Ketika membaca buku tradisi intelektual NU penulis tercengang dan baru sadar bahwa banyak dari kalangan kita atau para santri yang kurang mampu untuk mengontekstualisasikan tek-teks terdahulu ( tsurats al qadim ), dalam buku tersebut Dr. A. Zahroh menklasifikasikan hasil-hasil muktamar menjadi tiga bagian yaitu pertama jawaban yang masih valid sampai saat ini seperti hukum memecah kendi dan telur saat pernikahan, kedua keputusan hukum yang dianggap sudah tidak valid lagi dan masih berlaku sampai saat ini seperti jual beli petasan dan penentuan maal zakawi, ketiga hukum-hukum yang mengalami pelenturan seperti bunga bank dan transpalasi organ tubuh.
Klasifikasi yang dilakukan oleh Dr. A. Zahroh diatas menunjukkan bahwa ternyata konsensus semacam muktamar saja dapat mengalami perubahan karena tak mampu lagi menjawab tantangan zaman. Bagaimana dengan dengan hasil hasil ijtihad ulama' terdahulu ?
Dengan tanpa maksud menafikan hasil usaha para ulama' terdahulu penulis akan mencoba menguraikan beberapa point terkait dengan kontestualisasi fiqh sendiri. Menurut Dr .A. Zahro dalam dunia penelitian terdapapat konvensi atau semacam kesepakatan yang tak tertulis mengenai kemungkinan validitas ( tingkat kebenaran ), reabilitas (tingkat kepercayaan ) dan signifikansi ( arti penting ) dari suatu hasil penelitian. Suatu hasil penelitian berlaku hanya dalam rentang waktu dua tahun sampai lima tahun. Lebih dari itu dapat dan bahkan harus diadakan penelitian ulang untuk meninjau dan mengoreksinya ulang, bagaimana dengan produk-produk ijtihadi yang juga merupakan produk nalar manusia? tentunya berlaku ketentuan yang sama yakni perlu untuk dilakukan peninjauan ulang. Dalam hal ini Dr. Komaruddin Hidayat mengatakan bahwa penghargaan terhadap ulama' terdahulu seharusnya bukan dalam bentuk pencomotan dan pengadopsian apa adanya melainkan dengan menakar ulang ( re-thinking ) atas hasil ijtihadi karya- karya mereka secara dinamis dan konstruktif.
Abu Hanifah mengatakan bahwa mereka ( ulama' terdahulu ) adalah manusia biasa, dan kita pun manusia biasa pula. Kita mesti berterima kasih atas karya-karya atau pemikiran mereka tetapi kita tidak akan mengikuti seluruh pendapat mereka. Berbicara konteks tentu kontskes di masa lalu sangat jauh berbeda dangan masa kini begitu juga masa kinipun tantu akan berbeda dengan masa yang akan datang, sekarang masyarakat modern mempunyai logika dan sikap yang jauh berbeda dengan masyarakat arab zaman dahulu. Belum lagi letak geografis di mana agama islam diturunkan dengan letak geografis negara kita yang mungkian akan melahirkan inspirasi untuk menginterpretasi ulang doktrin dan dogma keagamaan.
Perbedaan konteks serta historis inilah yang menyebabkan perlunya pembacaan yang disnigtif antara syariah dengan maqaasid al syari'ah. Dalam tataran praksisnya yang terjadi selama ini adalah kecenderungan menguniversalkan produk fiqh untuk semua zaman dan tempat. Apa yang diproduksi ulama' terdahalu dianggap mampu untuk memecahkan problem-problem kemanusiaan kontemporer. Asumsi semacam itu bukan berarti tanpa konsekuensi. Akibatnya, syariat sebagai mediator yang komprehensif yang mengatur hubungan hamba dengan Tuhan ( ibadah) dan hubungan manusia dengan makhluk lainnya ( mu'amalah ) mengalami ke-stagnan-an atau ke-jumud-an. konklusi akhir yang tampak adalah wajah fiqh yang keras, rigid dan terkesan kaku.
Fiqh sebagai cara mengambil kesimpulan sebuah hukum yang berasaldari the religion natural resource ( Al Qur'an dan Hadits ) pada akhirnya akan menjadi statis dan teosentris, karena fiqh lebih dianggap sebagai otoritas pengetahuan daripada upaya memfungsionalisasikan doktrin keagamaan untuk menyelesaikan problematika keseharian.
Penulis berpendapat bahwa Langkah yang harus kita tempuh adalah dengan cara mengangkat ke permukaan syariat islam dalam arti sebagai sumber kemslahatan, karenanya yang perlu dikedepakankan adalah nilai-nilai universal dari pensyriaatan ( maqasid al-syari'ah ), contoh kecil adalah tentang hubungan antar agama, dalam literatur fiqh klasik menyebutkan bahwa hukum masuk gereja adalah haram. Ketika teks fiqh tersebut " diperkosa " untuk dijadikan dasar pengharaman masuk gereja maka yang terjadi adalah ketegangan dan kesenjangan antar pemeluk agama. Dari sisi historis produk fiqh dikodifikasikan saat tensi hubungan islam dengan non islam sedang tinggi-tingginya yaitu saat perang salib, maka hukum-hukum yang termuat dalam literatur klasik sangat wajar ketika berpapasan dengan non islam ada semacam sentiment. Ketika kita menengok kedalam kontesk sekarang ini terutama di indonesia hubungan antar agama sudah terjalin dengan baik maka perlu adanya kontesktualisasi hukum fiqh yaitu hukum masuk gereja adalah diperbolehkan mengacu pada konteks yang ada sekarang. Ketika kontekstualisasi tersebut dapat terealisasi dengan baik maka menjadikan islam sebagai agama yang humanis bukan merupakan sebuah impian lagi
* Staf Pengajar di PP. Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang

Senin, 23 November 2009

Memahami Al-Qur’an (Sebuah Pengantar)

Umar Abdul Hasib*

Al-Qur’an merupakan kitab samawi terakhir yang diturunkan kepada manusia paling mulia Muhammad SAW yang berfungsi sebagai Hudan Li al-Nas (petunjuk bagi manusia) bukan hanya berisi penjelasan hubungan antara manusia dengan halik (Hablun min Allah) tetapi juga mengatur tatacara hubungan antar makhluk-Nya (Habl min Al- Naas).

Kehadiran Al-Qur’an di tengah-tengah manusia, pada dasarnya adalah untuk mengenalkan Allah – penguasa alam semesta — dan menyampaikan pesan atau petunjuk-Nya sebagai bekal manusia dalam mengemban amanat yang tidak sanggup diemban oleh siapapun. Kehadiran al-Qur’an mengundang banyak reaksi dari masyarakat jahiliyah[1] — kaum yang menerima kehadiran al-Qur’an pertama kali —mereka menganggap al-Qur’an merupakan kata-kata yang dapat mensihir[2] orang yang mendengarnya.

Para sahabat yang merupakan generasi awal dapat memahami al-Qur’an, karena mereka menyaksikan langsung proses turunnya dan mengetahui latarbelakang diturunkannya, sehingga mereka dapat memahami maksud dan tujuan al-Qur’an, selain itu bahasa yang digunakan adalah bahasa arab yang merupakan bahasa mereka sehari-hari, kalaupun mereka belum memahami maksud suatu ayat, maka akan langsung bertanya kepada Rasul, kemudian beliau akan menjelaskan tentang maksud atau kandungan ayat tersebut, sehingga dengan demikian mereka dapat memahami al-Qur’an secara utuh[3] dan mengamalkannya sehari-hari.

Namun pada generasi selanjutnya, karena berbagai faktor yang bermunculan, diantaranya adalah karena luasnya daerah Islam yang tidak hanya pada jazirah arab sehingga berpengaruh terhadap bahasa dan kebudayaan menyebabkan pemahaman kaum muslimin terhadap al-Qur’an tidak sebaik generasi sebelumnya. Untuk menjawab tantangan itu para ulama sebagai waratsatul ambiya' melakukan berbagai upaya diantaranya dengan membuat berbagai metode dalam memahami al-Qur’an.

Upaya memahami al-Qur’an dapat dirasakan lebih mudah dengan cara memahami tema-tema pokok di dalamnya, karena semua penjelasan di dalamnya tidak lepas dari tema-tema pokok,[4] adapun tema-tema pokok yang ada di dalam al-Qur’an adalah :

1. Penegasan terhadap eksistensi adanya wahyu

Al-Qur’an telah menjelaskan apa itu wahyu dan jenis-jenisnya melalui fakta sejarah, ia memperkenalkan bagaimana umat manusia sepanjang sejarah telah mengenal wahyu melalui rasul-rasul dan keterlibatan mereka terhadap perjuangan besar.

Eksistensi keberadaan wahyu bagi masyarakat jahiliyah bukanlah hal yang luar biasa karena mereka sudah mengenal konsep seperti itu sebagaimana ilham yang didapatkan oleh para ahli mistik mereka[5], tetapi karena sifat keangkuhan mereka sehingga mereka tidak mempercayai adanya wahyu kepada Nabi Muhammad, terutama oleh kaum Yahudi karena mereka beranggapan bahwa Nabi terakhir datang dari keturunan Ya’qub.

Wahyu yang dibawa oleh para Rasul merupakan suatu petunjuk yang menyempurnakan keterbatasan akal dan kelemahan manusia. Penjelasan akan adanya wahyu adalah suatu penegasan bahwa ada sumber petunjuk yang lebih sempurna dan lebih kuat daripada akal manusia, dan wahyu merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh akal sendiri karena keterbatasan akal.[6]

Dengan penegasan eksistensi wahyu, keberadaan agama samawi berhasil dipertahankan. Agama yang bersumber dari wahyu adalah kebutuhan umat manusia. Kehidupan tanpa Agama bagaikan sebuah mobil tanpa adanya sopir sehingga menyebabkan kehancuran yang penuh derita.

2. Penjelasan Tentang Ketauhidan.

Al-Qur’an membimbing jalan pikiran manusia agar dapat terhindar dari kesesatan dan dapat mengenal keberadaan Tuhan yang maha Esa. Al-Qur’an menekankan dua hal dalam masalah ketuhanan, Pertama Keesaan Tuhan yaitu adanya perbedaan antara Tuhan yang menciptakan dan makhluk atau alam yang diciptakan. Kedua tidak adanya konsep (Manunggaling Kawulo Gusti) Manusia-Tuhan, hal ini dapat dilihat dalam ayat al-Qur’an yang menpertegas sifat kemanusiaan Nabi Qul Innama ana basyarun mitslukum yuha ilay (katakanlah –Muhammad– sesungguhnya aku (Muhammad) ini hanya seorang manusia seperti kamu sekalian yang menerima wahyu), sehingga dapat kita pahami bahwa meskipun Nabi menerima wahyu bukan berarti hal tersebut dapat merubah eksistensi Nabi sebagai seorang utusan menjadi Tuhan, sebagaimana yang dipahami oleh orang-orang Nasrani tentang Nabi Isa juga orang-orang Yahudi terhadap Uzair.

3. Penjelasan tentang hukum.

Al-Qur’an membimbing manusia untuk menjadi makhluk yang mukallaf (pengemban amanah) karena itu ia diberikan fasilitas untuk hidup dengan terhormat. Bumi sebagai tempat manusia mengemban amanah (khalifah fi ardl) dipenuhi dengan bahan-bahan yang siap untuk diolah untuk menjaga eksistensi dan keberlangsungan hidup manusia, manusia juga diberi sarana dan prasarana yang memungkinkan untuk mengolah bahan tersebut, diantaranya adalah Akal yang merupakan pengendali, serta Agama yang merupakan pembimbing agar tidak terbawa dalam arus kesesatan dalam mengarungi samudera kehidupan.

Manusia sebagai Khalifah bukan berarti manusia adalah penguasa segala-galanya, tetapi hanya sebatas penerima mandat dari Tuhan sehingga manusia hanya menjalankan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an menyangkut hak, kewajiban dan tanggung jawab, dengan semangat keadilan.

Ayat-ayat yang menjelaskan tentang hal ini berkisar antara 150-500 ayat, yang merupakan sumber pokok hukum Islam di samping sunnah Nabi, yang lebih dikenal dengan ilmu fiqh suatu ilmu yang mengatur semua sendi kehidupan.

4. Penjelasan tentang alam semesta.

Al-Qur’an tidak hanya menjelaskan tentang hubungan manusia dengan Tuhan ( Ilmu Tauhid) tetapi hubungan manusia dengan manusia (Ilmu Fiqih )bahkan hubungan manusia dengan alam, hal ini dapat kita lihat dari banyaknya ayat-ayat yang menjelaskan tentang berbagai macam makhluk yang ada dibumi, angkasa bahkan proses terjadinya hujan, akan tetapi dengan adanya ayat-ayat diatas bukan berarti al-Qur’an adalah kitab ilmu pengetahuan.

Al-Qur’an hanya memberikan isyarat dasar ilmu pengetahuan, seperti proses terciptanya manusia yang terbukti kebenarannya pada abad ini, sehingga hal ini menguatkan kebenaran al-Qur’an dan sekaligus memperkuat bahwa al-Qur’an bukanlah ciptaan seorang yang Ummi -Muhammad- karena menjelaskan hal-hal baru dapat dibuktikan kebenarannya setelah beberapa abad.

Pengetahuan tentang alam semesta, selain untuk menopang kehidupan manusia di dunia, juga untuk tujuan yang lebih jauh yaitu menyadari bahwa alam ini diciptakan oleh Dzat Yang Maha Besar sehingga manusia dapat menyadari kekurangannya dan dapat bersimpuh sujud di hadirat sang Khalik.

5. Penjelasan tentang kehidupan.

Al-Qur’an juga menjelaskan tentang masalah hidup dan kehidupan, juga menjelaskan kaitan hidup dengan manusia serta model kehidupan yang telah dilakukan oleh para umat terdahulu. Hidup ini diciptakan oleh Allah bagi manusia merupakan sebuah ujian untuk meningkatkan kualitas hidupnya, oleh karena itu al-Qur’an juga mengingatkan supaya menggunakan modal dasar ini dengan sebaik-baiknya, karena keterbatasan ruang dan waktu bagi manusia.

Al-Qur’an menjelaskan bahwa kehidupan yang dijalani manusia bukan hanya kehidupan yang bersifat materi sebagaimana di dunia ini tetapi juga kehidupan imateri kehidupan yang kekal abadi yaitu Alam Akhirat. Kehidupan di dunia merupakan kehidupan yang sangat terbatas ruang dan waktunya, karena itu ia tidak bersifat kekal dan abadi. Pada dasarnya kehidupan bagi manusia merupakan hal yang menyenangkan sehingga al-Qur’an menyatakan bahwa kehidupan merupakan senda gurau, kemegahan, perlombaan memperkaya diri dan memperbanyak keturunan. Hal-hal yang telah disebutkan, pada dasarnya bukanlah hal yang buruk karena semuanya diciptakan untuk menjaga kelangsungan kehidupan manusia di muka bumi, akan tetapi hal tersebut bisa menjadi sesuatu yang hina-dina jika hanya dianggap sebagai kenikmatan yang tidak menjadikan pemiliknya bersyukur kepada sang pemberi nikmat Allah SWT dengan menjalankan segala perintah dan larangannya.

Di samping menjelaskan kehidupan yang bersifat materi, Al-Qur’an juga menjelaskan tentang kehidupan yang abadi yang sebenarnya merupakan tujuan akhir hidup dari manusia sendiri yaitu kehidupan akhirat yang kekal tidak terbatas ruang dan waktu, segala kenikmatan atau kesengsaraan yang ada di dalamnya bersifat kekal dan lebih sempurna.

Kedua jenis kehidupan di atas tidaklah berdiri sendiri akan tetapi berkaitan, kehidupan di dunia sebagai ladang untuk mencari bekal bagi kehidupan akhirat yang kekal, sehingga manusia di dunia diperintah untuk melakukan kebaikan. Alam akhirat merupakan tempat untuk mempertanggungjawabkan segala perbutan yang telah dilakukan oleh manusia di kehidupan dunia, karena alam akhirat bukan tempat untuk bekerja dan berbuat, tetapi tempat menuai hasil pekerjaan yang dilakukan didunia, sebagaimana penjelasan dalam sebuah hadits al-Dunya Mazra’atul Akhirat (dunia adalah tempat persemaian bagi kehidupan di akhirat).

Al-Qur’an juga memberi banyak contoh kepada kita dengan mengisahkan umat-umat terdahulu, baik yang menjalani kehidupan ini sesuai dengan petunjuk Allah atau yang tidak sesuai dengan petunjuk-Nya sehingga mendapat laknat dari-Nya.

Dari sedikit penjelasan ini dapat kita pahami bahwa kehidupan di dunia bukanlah segala-galanya karena masih ada kehidupan yang tidak terbatas ruang, waktu serta dimensinya, kehidupan yang abadi, kehidupan sesudah mati. Al-Qur’an menolak anggapan kaum materialisme bahwa kematian merupakan akhir dari segalanya karena pada hakikatnya kematian adalah permulaan dari perjalanan panjang yang tiada akhir.

Demikian sedikit penjelasan tentang tema-tema pokok al-Qur’an sebagai pengantar dalam memahami sebuah Kitab yang paling tidak teratur, kitab yang tidak habis-habisnya untuk dikaji, yang telah menelorkan berjuta-juta jilid buku, yang mengundang decak kagum bukan hanya bagi orang-orang yang mempercayainya sebagai Kitab suci tetapi juga orang yang tidak percaya. semoga kita dapat memahami dan menjadikannya sebagai petunjuk hidup sebagaimana yang telah dicontohkan Nabi (kana khuluquhu al-Qur’an) sehingga tercipta sebuah kehidupan yang ideal dengan semangat yang diusung oleh Al-Qur’an, semangat keadilan.

Wa Allahu A’lam bi Al Shawab

* Santri PP Fadlu Wahid Ngangkruk

Ngaringan Grobogan Jawa Tengah



[1] Predikat jahiliyah disini bukan karena kebodohan mereka dalam hal keilmuan, karena pada masa turunnya al-Qur'an masyarakat arab sedang pada masa puncaknya kesusastraan arab, tetapi predikat itu dikarenakan mereka tidak dalam bimbingan wahyu sehingga kehidupan mereka dalam keadaan yang -sangat- tidak ideal hal ini dapat dilihat dari kebejatan akhlak mereka, sehingga mereka tega untuk mengubur anak wanita dengan hidup-hidup.

[2] Tuduhan ini timbul karena banyak kaum musyrik yang terpesona karena ketinggian sastra dalam al-qur'an, sehingga diantara mereka sempat bersepakat untuk tidak mendengarkan kaum muslimin melantunkannya, akan tetapi mereka tidak kuasa menepis keinginan untuk selalu mendengarkannya sehingga mereka secara sembunyi-sembunyi berusaha untuk mendengarkan.

[3] Ulama berbeda pendapat mengenai apakah sahabat memahami al-Qur’an semuanya atau tidak? Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa Nabi telah menjelaskan semua maksud dari al-Qur’an kepada para sahabat. Sedang kubu Al-Suyuthi mengatakan bahwa Nabi hanya menjelaskan sebagian kecil dari al Qur’an sehingga masih sangat terbuka terhadap penafsiran, sedangkan M. Husein al-Dzahabi mencoba mensintesakan dua pendapat diatas, bahwa Nabi telah menjelaskan sebagian besar maksud al-Qur’an kepada para sahabat. Jalaluddin Abdurrahman Al Sayuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, ( Beirut : Dar al-Fikr,2008), 549, Taqyuddin Ahmad Ibnu Taimiyah al-Harrani, Majmuah al-Fatawi Juz XIII ( Jeddah : Maktabah al-Taufiqiyah,tt), 188, Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I ( T.tp : Maktabah Mus’ab Bin Umair al-Islamiyah,2004), 42

[4] Muhammad Nawawi al-Jawi, Marah al-Labidz Tafsir al-Nawawi, ( Surabaya : al-Hidayah, tt), 2

[5] Sebelum islam masyarakat jahiliyah sudah mengenal adanya bisikan yang biasa didapatkan oleh tukang ramal mereka, sehingga ketika nabi mengaku mendapatkan wahyu bagi mereka bukanlah hal yang asing, hanya saja mereka menyamakan antara wahyu dengan bisikan yang dperoleh oleh tukang ramal mereka. Wahyu pada hakekatnya bukan terbatas berupa Al Qur’an saja, tetapi juga Sunnah Nabi baik Nabawi maupun Qudsyi, perbedaan yang ada hanyalah pada letak redaksinya. Al qur’an redaksi dan maknanya langsung dari Allah, Hadits Qudsyi adalah firman Allah yang diriwayatkan oleh nabi dengan redaksi nabi sendiri, sedang sunnah nabawiyah ide dasarnya dari Allah, sehingga kita diperbolehkan meriwayatkan hadits secara maknawi yaitu periwayatan yang tidak sesuai dengan lafadz yang telah disampaikan Nabi tetapi mempunyai makna yang sama, hal ini tidak diperbolehkan dalam al qur’an.

[6]Apakah akal dapat mengetahui kebenaran tanpa adanya wahyu? Terjadi perbedaan pendapat, kaum Mu’tazilah (kaum rasionalis) mengatakan bahwa akal dapat mengetahui kebenaran tanpa adanya wahyu, sedang golongan Asy’ariyah mengatakan bahwa akal tidak dapat mengetahui kebenaran tanpa adanya wahyu karena kebenaran menurut akal bersifat relative, baik atau benar bagi akal A bukan berarti benar dan baik bagi akal B, hal itu tidak lepas dari pengaruh sosio-kultural yang melingkupi akal.